blog-img
11/02/2023

OPINI : PEMBELAJARAN SEJARAH; PEMBENTUKAN KARAKTER SEJAK DINI

Libertino Agusto Dias | Artikel

Oleh Agusto Dias

Tulisan ini pernah dimuat di Mediatorgivans.com (media digital SMAK Giovanni Kupang) pada 28 Juli 2021, jam 05.54

“Ala bisa karena biasa”, sebuah ungkapan yang tentunya tidak asing di telinga kita. Terkadang, kalimat ini secara pribadi kita gunakan saat ingin memberikan wejangan bagi sesama. Frasa ini mempunyai kekuatan sugesti untuk merubah perilaku seseorang menjadi lebih baik. Karena kekuatan dari kalimat ini, kita dengan yakin menjadikannya moto dalam hidup. “Ala bisa karena biasa." Buah dari sebuah kesuksesan harusnya melalui sebuah proses yang baik dan benar. Jika proses ini benar-benar dijalankan sejak dini, maka dari rahim pendidikan terlahir penerus bangsa yang cerdas secara intelektual maupun berbudi pekerti yang luhur.

Perkembangan zaman kini semakin menggila, IPTEK berkembang melampaui daya adaptasi manusia. Tidak mengherankan keseimbangan dalam masyarakat perlahan timpang. Permasalahan ini mengingatkan kita akan dasyatnya pengaruh Revolusi Industri pada abad ke-XVIII di Inggris. Saat tenaga manusia tergantikan oleh mesin-mesin dan mulailah bermunculan berbagai problem dalam masyarakat dengan hilangnya lapangan pekerjaan manusia. Jalan satu-satu untuk tetap bertahan hidup adalah melakukan tindakan kriminal. Dan pada suatu ketika pemerintah kerajaan Inggris dihebohkan dengan jumlah narapidana yang terus meninggkat. Kebijakan berani yang diambil pada waktu itu dengan melakukan penjelajahan samudera untuk mencari daerah baru yang bisa dijadikan daerah koloni bagi para narapidana.

Sejarah telah mencatat, Revolusi Industri sepanjang perkembangannya hingga masa kini telah merubah pola perilaku manusia. Kehadiran mesin-mesin yang menggantikan pekerjaan manusia telah memberikan kita kemudahan yang lantas membuat kita tidak pernah puas diri. Revolusi ini telah menciptakan manusia-manusia yang selalu mendewakan pekerjaan kemudian lupa kodratnya sebagai manusia sosial. Luka sejarah yang tidak pernah terlupakan yaitu hilangnya perdamaian dunia, saat di mana derajat manusia dipandang rendah dibandingkan tenaga-tenaga mesin industri. Perkembangan IPTEK yang tak terbendung telah menyeret bangsa ini masuk dalam perubahan-perubahan pola perilaku masyarakatnya. Berbagai nilai sejarah yang tertuang dalam budaya kini hampir tertelan oleh derasnya arus gelombang. Tidak mengherankan, jika suatu saat nanti bangsa ini akan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang kaya akan budaya, etika dan norma. Peristiwa ini seolah-olah melemparkan kita kembali ke masa di mana kita belum menemukan jati diri sebagai sebuah bangsa. Terjadi perpecahan di mana-mana dan mudah sekali diaduh domba oleh bangsa lain.

Pemerintah kita tentunya sangat peka terkait fenomena ini, sehingga mencanangkan Revolusi Mental sebagai salah satu bentuk mengembalikan identitas diri kita yang hampir punah. Berbagai gerakan dilakukan agar sedini mungkin membentuk karakter dan jiwa Nasionalisme anak bangsa. Pelajaran sejarah menjadi sangat vital dalam memainkan peran menumbuhkan semangat nasionalisme dan mengembalikan pula karakter anak bangsa yang mulai tercoreng. Pertanyaannya adalah bagaimana kita sebagai guru mentransfer ilmu sejarah yang berimbas kepada pembentukan karakter anak bangsa?


Pembelajaran Sejarah sebagai Pembentukan Karakter.

Peristiwa Sejarah merujuk pada sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Peristiwa ini berangkat dari pengalaman interaksi antara manusia dengan Yang Maha Esa, manusia dengan sesama, dan juga manusia dengan alam. Dari interaksi ini melahirkan kebudayaan-kebudayaan seperti agama, norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Semua peristiwa masa lalu adalah peristiwa sejarah tetapi tidak semua peristiwa sejarah termasuk dalam kategori peristiwa bersejarah. Mengapa demikian? Karena tidak semua peristiwa sejarah memiliki nilai yang sama dengan orang lain. Bagaimana pembelajaran sejarah bisa menjadi media pembentukan karakter peserta didik?

Menjadi seorang guru sejarah adalah sebuah kebanggaan apa lagi jika pembelajaran memberikan efek pada perubahan karakter siswa ke arah yang lebih baik. Tetapi ini bukanlah perkara mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Tentunya hal paling sulit ialah bagaimana menjadi guru yang bisa diteladani. Tidak sekedar mentransfer ilmu tetapi bisa menjadi panutan adalah hakikat dari pembelajaran itu sendiri. Bagaimana materi itu disampaikan dan senantiasa diingat.

Pembelajaran sejarah untuk membentuk karakteristik genarasi muda harus dimulai dari pendidikan usia dini. Tidak bisa kalau pembelajaran hanya diberikan saat peserta didik sudah memasuki masa remaja (SMP). Jika demikian ini adalah sebuah langkah terlambat. Prospek kita ialah menyiapkan generasi emas di tahun 2045 mendatang. Untuk itu materi yang disampaikan juga harus pro terhadap kebutuhan peserta didik. Hal yang sama juga berlaku bagi anak-anak usia SMP dan SMA.

Meminjam istilah dari Prof. Dr. Kuntowijoyo (1995:4), pembelajaran sejarah itu harus dilakukan dengan sebuah pendekatan supaya tidak membosankan bagi yang mendengarkannya. Beliau menggunakan empat pendekatan yaitu, untuk kalangan SD sejarah dapat dibicarakan dengan pendekatan estetis, untuk SMP sejarah dapat dibicarakakn dengan pendekatan etis, kepada siswa SMA pendekataan sudah mengarah kepada penalaran yaitu sejarah harus diberikan secara kritis, dan untuk tingkat universitas, sejarah akan diajarkan tentang suatu perubahan dalam suatu masyarakat.

Bagi anak usia SD, pembelajaran estetika yang dimaksudkan adalah materi yang disampaikan berkaitan dengan rasa cinta kepada tanah air, kepada perjuangan, pahlawan dan bangsa. Cara penyampaiannya dalam bentuk cerita-cerita yang dinarasikan secara menarik untuk membantu mereka berimajinasi. Untuk menumbuhkan rasa nasionalisme bisa dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Lebih jauh, agar pembelajaran menjadi pro siswa pembelajaran sejarah bisa dilakukan dengan audio-visual melalui flim kartun animasi tentang para pejuang. Sedangkan di bangku SMP, pedekatan secara etis artinya bahwa sejak awal harus ditanamkan pengertian bahwa mereka adalah makhluk sosial yang hidup di tengah kemajemukan masyarakat, budaya dan adat istiadat. Tujuannya jelas, di mana saat mereka mengakhiri pendidikan dasar sembilan tahun sudah terbentuk rasa nasionalisme dan saat mereka berada di tengah kemajemukan masyarakat, sudah ada rasa toleransi dan saling menghargai sebuah perbedaan.

Pada tahap SMA pembelajaran yang diberikan mulai masuk ranah menganalisis tetapi dengan gaya menceritakan sebuah peristiwa sejarah. Siswa SMA harus diarahkan untuk mempertanyaan segala sesuatu yang terjadi kemudian di dorong untuk menyelesaikan permasalahan itu secara mandiri. Sehingga pada tahap yang lebih lanjut, setelah membandingkan realitas di masyarakat dengan teori, mereka diharapkan menjadi agent of  change dalam situasi apapun. Dengan modal kemampuan menganalisis menghantar mereka untuk bergelut di bangku perkuliahan. Pembelajaran yang diberikan pada tahap perkuliahan harus mengarah kepada bagaimana peserta didik memiliki gambaran tersendiri terhadap suatu masalah dan mampu menarik benang merah dari persoalan-persoalan masa lalu dan masa kini, sehingga dapat menjadi agen perubahan yang mengantisipasi perkembangan dengan bekal ilmu yang mereka miliki.

Pada akhirnya pembelajaran akan mencapai tujuannya, memanusiakan manusia. Terbentuk penerus bangsa yang mencintai bangsa dan negaranya. Mampu berinteraksi dalam masyarakat yang majemuk ini, tanpa saling membedakan latar belakang suku. Pembelajaran sejarah dengan caranya sendiri akan menyiapkan penerus bangsa yang kristis dan peduli untuk perubahan. Jika ini bisa terapkan dengan baik, permasalahan disintegrasi bangsa dapat terselesaikan dan kita siap menjadi generasi emas di tahun 2045.

Guru Sejarah di SMA K Giovanni Kupang

#ntt #nttbangkit #nttsejahtera #dinaspkntt #restorasipendidikan #smakgiovannikupang
#yaswarikak

 

Bagikan Ke:

Populer