OLEH : AGUSTO DIAS
Tulisan ini pernah dimuat di Mediatorgivans.com (media digital SMAK Giovanni Kupang) pada 09 Agustus 2021, jam 10.09
Harta yang paling berharga dan paling mulia dari seorang manusia secara individu adalah ilmu dan pengetahuan yang ia peroleh melalui pendidikan. Ilmu menjadikan manusia itu bermartabat dan menjadi pribadi yang beradab tergantung bagaimana ilmu itu mampu diimplementasikan secara baik dan benar. Salah satu hal yang menjadikan harta ini unik adalah ia tidak bisa dicuri. Selain itu seperti yang diutarakan oleh dr. Abdul Rivai sebagai salah satu tokoh pelopor kebangkitan nasional, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Kata-kata ini secara tidak langsung mengajak para pemuda zamannya untuk mencurahkan hidup dalam menimba dan mengenyam pendidikan karena hanya melalui kaum muda yang berintelektual bangsa Indonesia akan dibawa keluar dari cengkraman penjajah. Di zaman ini, ajakkan untuk mengutamakan pendidikan sebagai aset memajukan kehidupan di masa depan adalah hal yang harus terus ditanamkan.
Pendidikan adalah jalan bagi bangsa kita keluar dari berbagai permasalahan dalam kehidupan masa kini. Majunya suatu bangsa tidak terlepas dari banyaknya ilmuwan yang mengambil bagian dalam proses ini. Perjalanan sejarah telah membuktikan hal ini. Kita mulai dari bangsa Yunani yang terkenal memiliki banyak cendikiawan seperti Archimedes, Socrates, Plato, Aristoteles dan berbagai tokoh-tokoh bangsa Yunani yang terkenal karena buah pikirannya digunakan sebagai bahan referensi dalam berbagai ilmu pengetahuan. Selain itu, peristiwa perang dunia II, bangsa Jepang muncul sebagai kekuatan baru yang berhasil mengalahkan bangsa Rusia pada tahun 1904 dan menjadikan bangsa Jepang sebagai negara militer dan industri besar. Pendidikan sekali lagi memainkan peran penting dalam mengubah bangsa Jepang dalam peristiwa Restorasi Meiji. Dengan kata lain kemajuan suatu bangsa karena hasil dari pendidikan serta bijaknya kaum intelektual dalam mengimplementasikan ilmu itu.
Sejarah juga mencatat dengan tinta emas, bagaimana seorang Albert Einstein manusia dengan bakat alami, berhasil menemukan teori atomnya, kemudian Robert Oppenheimer membuat bom atom yang digunakan Amerika Serikat (Sekutu) menghancurkan kota Nagasaki dan Hirosima. Sehingga Indonesia mampu memproklamasikan kemerdekaannya. Namun tidak kemudian kita mengatakan kemerdekaan adalah sebuah kebetulan atau hadiah dari bangsa lain. Tetapi hal ini adalah usaha sendiri dari bangsa kita melalui tokoh-tokoh nasionalis Indonesia, menempuh jalan diplomasi (perang mindset) dan akhirnya mampu mencapai kemerdekaan itu. Rahim pendidikan telah melahirkan kaum intelektual dengan wawasan dan pengetahuan yang dimiliki menempuh cara yang manusiawi untuk menggapai kemerdekaan ini.
Kata-kata bijak Herkleitos menyatakan bahwa pendidikan adalah bagaikan matahari kedua bagi pemiliknya (education is the second sun to its possessors), (Vox, 5: 1986) semakin menegaskan betapa vital dan urgennya pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa pendidikan manusia akan senantiasa terbelenggu dalam lingkaran kebodohan dan keterbelakangan. Pendidikan menjadi pelita yang sudah lama terisi namun belum mampu menerangi buramnya karakter dan etika manusia serta sinar harapan bagi diri dan masyarakat di masa yang akan datang. Keberhasilan dalam pendidikan di sekolah akan menjadi salah satu tolak ukur kebahagiaan dan harga diri seorang anak serta kualitas hidup dalam pengabdian dalam masyarakat. Lalu bagaimana arti penting pendidikan sebagai matahari kedua di Nusa Tenggara Timur? Apakah pendidikan itu juga memiliki arti penting dalam menunjang kehidupan masyarakat? Atau pendidikan hanya menjadi alat kendaraan bagi kepentingan pemerintah?
Nyatanya pendidikan yang diyakini sebagai education is the second sun to its possessors oleh Herkleitos kini hanyalah kata-kata cibirin bagi pendidikan kita. Pendidikan hanya menjadi wadah mekanisme kapitalistik. Pendidikan hanya menjadikan manusia mengejar pencapaian ekonomi dibandingkan inisiatif (inovasi) dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Sehingga pendidikan dengan caranya telah meyakinkan orang tua bahwa anaknya akan sukses bersaing dalam dunia kapitalisme. Sehingga yang dilihat dan dinanti adalah nilai real (nominal) dari proses pendidikan. Karena salah satu faktor penentu persaingan dalam dunia kapitalis adalah nilai yang tinggi. Masyarakat pun mulai menyadari dengan bersekolah kesuksesan itu akan digapai. Namun pendidikan akhirnya kehilangan roh dan spiritualitas sebagai daya penggerak kehidupan. Kita pun pada akhirnya tidak bisa menghindar dari berbagai jeritan korban kegagalan pendidikan. Gejala disintegrasi bangsa dan kebiadaban yang bermunculan di lingkungan sekitar kita adalah cerminan paling nyata dari kegagalan itu. Setelah sekian masa pendidikan menjadi media menuju peradaban nyatanya, maka kita tidak seharusnya semakin tenggelam dalam lumpur kebiadaban.
Kenyataan yang terjadi tentunya tidak terlepas dari proses pendidikan yang belum mampu mendongkrak prestasi anak bangsa di kancah internasional. Argumentasi ini tidak terlepas dari data yang muncul di lapangan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang dikeluarkan pada tahun 2018 dan kemudian diterbitkan sekitar bulan Maret 2019, bahwa bangsa Indonesia menempati urutan 74 dari 79 peserta. Indonesia belum mampu keluar dari lingkaran 10 besar terbawa selama survei ini dilakukan. Tentunya pendidikan sebagai sinar matahari kedua yang mampu menghantarkan bangsa ini keluar dari berbagai keterpurukan, tinggal sebuah idealisme yang semantiasa terpendal pada kerasnya realitas di lapangan.
Imbasnya juga dirasakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, prestasi pendidikan di Nusa Tenggara Timur telah melahirkan beberapa daerah miskin di provinsi ini. Sumber daya manusia yang ada belum bisa berbuat banyak untuk pengelolaan sumber daya alam menuju kesejahteraan secara mandiri. Dengan realitas ini saya sepakat dengan Isidorus Lilijawa (dalam VOX: 2004). Ia menuangkan dalam tulisannya bahwa orang NTT itu gila sekolah, untuk itu tidak tanggung-tanggung bersekolah setinggi-tingginya. Sehingga tidak mengherankan banyak lulusan dengan gelar doktor, magister dan jutaan sarjana. Tentunya ini sebuah peluang dan juga harta kita, tetapi nyatanya? Masih juga kita sulit keluar dari lumpur kemiskinan. Lalu apa yang salah? Dari sekian banyak lulusan itu hanya sedikit yang berjiwa “tamak” akan hal yang baru. Pikirnya dengan ijazah mereka akan laris ditawari membawakan materi dalam seminar-seminar dan berharap penghasilannya bertambah. Kita sekali lagi kekurangan output peserta didik yang memiliki jiwa “tidak tahu malu” untuk masuk dalam zona inovatif.
Realitas pendidikan pada kenyataan telah menghasilkan output yang mengalami kebingungan saat dihadapkan pada realitas di lapangan. Mereka belum siap pada persoalan-persoalan dalam masyarakat yang membutuhkan kerja nyata dari ilmu yang sudah mereka peroleh dalam lingkungan akademisi. Peran sekolah dibutuhkan menjawabi kegelisahan masyarakat melihat kurang orang yang “tidak tahu malu” dalam menciptakan sebuah inovasi.
Situasi pendemi yang terjadi kurang lebih 2 tahun, memaksa kita mau tidak mau merestorasi gaya pembelajaran yang sudah tidak kontekstual. Pengajaran yang berpusat pada teknologi harus mampu dimanfaatkan dengan mengarah kepada peserta didik sehingga tercipta iklim merdeka dalam pembelajaran. Situasi pendemi dan gerakan merdeka belajar ini, boleh dikatakan adalah dua hal yang saling melengkapi atau dengan kata lain sistem merdeka belajar hadir untuk menjembatani proses pembelajaran yang terhambat pada situasi pandemi ini. Jika kita guru dan siswa mampu menerapkan sistem pembelajaran ini dengan baik maka pandemi bukan lagi menjadi alasan untuk bangkit dari keterpurukan. Siswa dapat terus belajar tanpa guru dengan cara mengakses berbagai situs pembelajaran yang tersedia dan guru hadir sebagai fasilitator yang memberikan penguatan. Pembelajaran harus pro kepada siswa terkait kebutuhannya, siswa juga bebas belajar dimana saja tanpa harus berada dalam ruangan, serta mengembangkan minatnya secara bertanggungjawab. Pertanyaan paling mendasar tentunya bagaimana peran sekolah mengimplementasikan merdeka belajar untuk menghasilkan output yang merdeka secara intelektual dan berguna bagi kebutuhan masyarakat?
Non Scholae sed vitae discimus, belajar bukan untuk sekolah (nilai/angka) tetapi untuk hidup. Ungkapan yang menunjukkan betapa pentingnya sekolah atau pendidikan. Bukan bagaimana nilai menjadi penentu tetapi bagaimana pendidikan menjadi kekuatan dalam mengisi kehidupan. Namun nyatanya, pendidikan seolah menjadi sebuah wadah mengejar nilai, kesuksesan dan gengsi semata dari sebuah lembaga. Tercipta masyarakat yang gila akan sekolah tetapi minim rasa malu untuk mengatualisasikan ilmunya dalam kehidupan. Pendidikan sekedar mengejar nilai (angka), secara tidak langsung telah menjauhkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Realitas ini menjadi sebuah kekhawatiran bagi masyarakat masa kini terutama ketakutan akan hilangnya makna pendidikan dalam membawa perubahan di masyarakat. Peran sekolah untuk mengembalikan “Non Scholae sed vitae discimus” sebagai semboyan dalam proses pendidikan dengan salah satu strateginya merdeka belajar menjadi sebuah keharusan. Untuk itu, sekolah harus sadar betul menerapkan suatu kebijakan yang nantinya mampu menghasilkan peserta didik yang merasa bebas dan tidak merasa asing saat berkecimpung dalam masyarakat. Artinya dalam situasi merdeka belajar pendidikan harus mampu memberikan kebebasan kepada siswa-siswi berekspresi dengan mengakar pada konteks permasalahan dalam masyarakat. Sekolah tidak sekedar hadir untuk membantu mengejar kesuksesan tetapi membantu membawa sebuah perubahan dalam masyarakat luas.
Sekolah dalam kaitannya dengan manusia, harus menjalankan konsep linking dan delinking dalam proses pembentukan karakter melalui tiga fungsi ini. Pertama, sekolah sebagai masyarakat buatan dengan menyederhanakan kompleksitasnya. Kedua, sekolah sebagai miniatur dari masyarakat yang memurnikan diri dari segala hal-hal negatif dari lingkungan masyarakat. Sehingga banyak nilai yang dianut di dalamnya merupakan hal-hal yang menunjang perubahan dalam masyarakat nantinya. Tiga, sekolah menjadi wadah yang melepaskan peserta didik dari berbagai sekat dalam lingkungan tempat dia dilahirkan. Sekolah hadir untuk mempersiapkan siswa lebih metodis dalam menghadapi komplesitas masyarakat. Sekolah didesain untuk memutuskan hubungan dari segi negatif, untuk nantinya siswa-siswa ini siap menghadapinya di kemudian hari, dan sekolah juga hadir menembus batas-batas dalam masyarakat kemudian menciptakan posisi sosial yang pantas bagi dirinya. Sehingga dapat dikatakan konsep linking menunjuk pada keadaan di mana seorang anak mempunyai persambungan dengan lingkungan hidupnya, sedangkan delinking keadaan di mana manusia tidak mempunyai persambungan dengan lingkungannya, (Kleden, 2001:44:56).
Berdasarkan gambaran ini pendidikan masa pandemi harus selalu pro dengan kebutuhan siswa dalam kehidupan masyarakat. Siswa diarahkan untuk selalu peka terkait situasi dalam masyarakat dan memotivasi mereka untuk mau mengangkatnya ke ranah diskusi dalam kelas. Kepekaan ini akan mendorong semangat untuk mencari jalan keluar mengatasinya. Hal ini untuk menjaga agar kepandaian sekolah sejalan dengan kepandaian yang dibutuhkan dalam masyarakat. Kepandaian dari lingkungan sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah akan menimbulkan kebingungan dalam proses pendidikan dan juga saat mereka sudah terjun kembali ke dalam masyarakat.
Mengakhiri tulisan saya ini, saya mengajak kita flash back ke masa di mana bangsa kita masih dijajah. Timbul kebingungan dalam masyarakat akibat pendidikan yang hanya untuk kalangan atas. Pendidikan yang tanpa tujuan yang jelas, tetapi satu yang pasti mereka bersekolah untuk bekerja dalam instansi pemerintahan Hindia Belanda. Hingga muncul tokoh-tokoh pendidikan yang mengenyam pendidikan karena ingin merdeka, dan pedidikan itu betul-betul didapat untuk sebuah kebebasan. Jadi dapat dikatakan pendidikan adalah education is the second sun to its possessors yang senantiasa menerangi hidup kita dan pendidikan menjadi proses “Non Scholae sed vitae discimus”, pendidikan tidak semata-mata untuk kepentingan diri tetapi untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.
* Guru Sejarah SMA K Giovanni Kupang
#ntt #nttbangkit #nttsejahtera #dinaspkntt #restorasipendidikan #smakgiovannikupang
#yaswarikak